photo anigifklll_zps3axosl7h.gif

Kitong Ada Jual Majalah Koo Beli Sudah !!!

Kitong Ada Jual Majalah Koo Beli Sudah !!!

MEA 2017: Menguntungkan atau Merugikan Perekonomian Indonesia?

Foto ist: Pedagang Asogan

Oleh: Andreas Yeimo
Sampai pertengahan 2017 ini, kondisi perekonomian Indonesia semakin jauh dari harapan. Namun, angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi akibat pertumbuhan ekonomi yang terlalu eksklusif. Hanya sebagian masyarakat yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini. Realita di Ibu Kota menjadi saksi hidup bahwa kesenjangan sosial semakin tinggi antara si kaya dan si miskin. Belum selesai dengan masalah perekonomian di negeri sendiri, Indonesia dihadapkan dengan sebuah tantangan yang besar di tahun 2017 mendatang yaitu MEA 2018.

MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) atau AEC (Asean Economic Community) adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai  pada tahun 2017.  Tujuan dibentuknya "Komunitas Ekonomi ASEAN" tidak lain untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN. Membentuk kawasan ekonomi antar negara ASEAN yang kuat. Dengan diimplementasikannya MEA 2017, Indonesia mempunyai 2 pilihan dalam drama ini, menjadi aktor utama atau malah menjadi penonton di negeri sendiri. [1]

Dengan kata lain, MEA 2017 bisa mendatangkan keuntungan yang besar bagi Indonesia. Namun, juga dapat menimbulkan kerugian yang besar pula. Keuntungan yang didapatkan Indonesia adalah para UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) akan lebih mudah menjual barang-barang produksinya ke negara-negara di ASEAN. Liberalisasi perdangangan barang di ASEAN ini menyebabkan berkurangnya biaya transportasi  dan biaya telekomunikasi para UMKM dengan konsumen. Selain itu, daya saing yang ketat juga akan mewarnai MEA 2017 seperti yang dilansir dari Ketua Pembina ASEAN Competition Institute (ACI), Soy Martua Pardede.

Beliau menilai persaingan di pasar bebas ASEAN akan sangat ketat dan tidak ditemui di regional lainnya semisal Eropa atau Amerika. Sehingga, mutlak untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Dalam rangka MEA 2015 ini,  berbagai kerja sama regional untuk meningkatkan infrastruktur ( pipa gas, teknologi informasi ) maupun dari sisi pembiayaan menjadi agenda. Kesempatan tersebut membuka peluang bagi perbaikan iklim investasi Indonesia. Terutama dalam melancarkan program infrastruktur domestik. Seperti koin yang memiliki 2 sisi, Indonesia juga dihadapkan dengan kerugian-kerugian dari MEA 2016 jika persiapan mengahadapi pasar bebas ini tidak matang. Hal yang paling ditakutkan adalah kesamaan produk Indonesia dengan negara lain. Kurangnya standardisasi dan seritifikasi produk di dalam negeri akan menciptakan peluang bagi produk impor untuk menggempur perdagangan di Indonesia. Standardisasi dan sertifikasi produk merupakan hal yang penting guna mencegah kesamaan produk Indonesia dengan negara lain.[2]

Sudah cukup budaya yang diklaim oleh negara tetangga, jangan sampai makanan pun di akui lagi oleh negara seberang. Kerugian lain yang akan dihadapi adalah terancamnya daya saing tenaga kerja Indonesia. Jumlah tenaga kerja yang kurang terdidik di Indonesia masih tinggi. Jika dibandingkan dengan pengangguran negara tetangga, 80 persen pengangguran Singapura dan Malaysia adalah lulusan perguruan tinggi dan SMA. 
Hal ini mengkhawatirkan karena bisa saja tenaga kerja negara tetangga mengambil alih lapangan kerja di Indonesia. Cukup sudah Indonesia mengimpor beras dari negara lain, padahal Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki bahan-bahan pokok yang melimpah. Jangan sampai, tenaga kerja pun diimpor dari negara-negara tetangga. Dapat disimpulkan bahwa MEA 2017 bisa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia. Namun, jika tidak disiapkan dengan matang, MEA 2017 akan menjadi boomerang bagi Indonesia. [3]

Keuntungan atau kerugiankah yang akan dialami oleh Indonesia akan ditentukan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri. Pemerintah harus segera berbenah diri dalam menghadapi MEA 2017 ini agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Kebijakan pemerintah dalam standardisasi dan sertifikasi produk, peningkatakan mutu tenaga kerja merupakan persiapan-persiapan yang harus dilakukan agar Indonesia tidak mengalami kerugian yang besar di MEA 2017 ini. Pemerintah yang akan memegang kunci kesuksesan MEA 2007.

Penulis Lepas Tinggal di, Kota Kota Kolonial





Refrensi:
[1]. http://www.kompasiana.com/ichakhairunnisa23/mea-2015-menguntungkan-atau-merugikan-perekonomian-indonesia_54f7036da3331168218b45d2
[2]. http://asean.gunklaten.com/2013/06/Pengertian-Komunitas-ASEAN-2015.html
[3].http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=15030&type=6#.U5gnxPkgTKE
[4].MENGHADAPI_ERA_MEA_2015_MELALUI_KEBIJAKAN_REDENOMINASI_Disusun_untuk_Mengikuti_Lomba_Karya_Tulis_Ilmiah_National_Economics_Events_Disusun_Oleh?login=&email_was_taken=trueSelengkapnya : http://www.kompasiana.com/ichakhairunnisa23/mea-2015-menguntungkan-atau-merugikan-perekonomian-indonesia_54f7036da3331168218b4

Konsumerisme Ancaman Bagi Orang Papua

                                           Foto: Ist mama Papua sedang berjualan di emperan jalanan



Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat dihilangkan. Sifat konsumerisme yang ditimbulkan karena sukanya seseorang terhadap suatu produk sampai lupa memproduksi sendiri. Dengan kata lain, kita hanya sebagai pasar dan lihat sesuatu yang modern atau barang baru langsung beli.

Dalam konteks ini. Tidak di pungkiri bahwa orang  Papua semakin jauh dari slogan “menjadi tuan di negeri sendiri”. Mengapa demikian ? iya, sudah menjadi rahasia umum bahwa produksi sandang, pangan, papan maupun teknologi sangat didominasi orang non-Papua, investor dalam negeri, investor luar negeri dan korporasi dari luar . Kita hanya sebagai pasar yang membeli produk mereka dan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka ketimbang membangun diri kita sendiri atau setidaknya bisa produksi sendiri. Kita masih tidur, terlenah dengan fenomena teknologi, produk dan gaya hidup modern. Anehnya, kita miskin tapi mau gaya hedonis seolah-olah mampu, nyatanya itu hanya lelucon.

Kita seakan menjadikan konsumerisme itu sebagai sebuah budaya dan gaya hidup. Pada hal, konsumerisme itu ancaman besar karena watak dan karakternya ekspansif. Konsumerisme merupakan hasil dari praktek kapitalisme, aktor kapitalis (pemilik modal) yang paradigma berpikirnya bertumpah pada provit (keuntungan/akumulasi modal). Sistem ekonominya lebih pada pasar bebas, individualis dan tidak mengenal sistem kekeluargaan. Kapitalisme itu juga bisa memainkan cara berpikir kita. Promosi pemakaian citra agar kulit putih, iklan produk kecantikan, hp bermerek bagus dan lain-lain sebenarnya propaganda dari pada paham kapitalisme itu.

Di sisi lain, Apakah pemeritah daerah sudah membaca fenomena ini ? Saya rasa tidak. Contohnya, Pemeritah memangkas anggaran untuk sektor pendidikan sejauh ini tapi hasilnya nihil. SDM kita ke mana ataukah pemda yang tidak punya grand design yang jelas. Papua hari ini masih sangat tergantung dengan pusat, produk lokal yang di hasilkan pun bisa di hitung dengan jari. Sedangkan Papua bukan Cuma tambang, tapi harus kita akui bahwa SDM kita belum mampu karena pemda tidak punya grand design pembangunan ke mana dan hasilnya untuk siapa. Wacana tentang pembangunannya cerdas tapi apa yang mau di bangun, hasilnya kita tetap masih tertinggal dari berbagai sektor.

Sebuah ironi, ini era kompetitif sehingga kalau kita bicara pembangunan yang mengarah pada membangun orang Papua tentu tidak sembarang. Misalnya, membangun infrastruktur saja tidak cukup karena setelah jadi infrastruktur kemudian siapa yang akan menguasainya. Membangun akses apapun di sana pada dasarnya mempertimbangkan banyak aspek termasuk memberikan ruang bagi orang Papua untuk menguasai sebagian aksesibilitas itu. Entah itu menciptahkan orang untuk jadi pengusaha agar bisa bersaing ataukah proteksi kelemahan mereka dengan membuat regulasi yang mengakomodir kepentingan mereka.

Jadi, paradigma berpikir kita sudah harus mengarah pada sesuatu yang ada outputnya (hasil) bukan pintar berwacana tapi hasilnya korup, memperkaya diri sendiri, golongan dan krooni-kroni. Kita bisa jadi babu di negeri sendiri karena pola pikir konsumtif tinggi, kita bisa konflik karena cemburu, kita bisa ekslusif karena mudah tersinggung, kita bisa saling membenci karena kalah bersaing dan lain sebagainnya. Jangan tunggu lagi, jangan apatis lagi, yang pastinya wujudkan Papua tuan di negeri sendiri dengan mengintegrasikan kekuatan intelektual dari berbagai elemenen. Dan Papua tidak akan maju kalau kita tidak berpikir kolektif, bersatu dan tidak frame, artinya sudah saatnya bersatu. Tanpa itu kita akan tetap seperti ini.

Penulis Lepas Tinggal di kota-Kota Kolonial

Orang Papua Asli Makin Hilang..?

Foto: Ist Orang asli Papua.


Oleh: Andreas M. Yeimo

Papua adalah daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih menjadi perhatian  publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Dalam kenyataannya, penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun rezim telah  beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi Papua ke Indonesia (1).

Hingga kini penuntasan dugaan pelanggaran HAM di Papua tak kunjung ada titik terang. Sering kita mendengar istilah depopulisasi orang Papua asli. Artinya, sedang terjadi pengurangan atau penyusutan jumlah penduduk orang Papua asli. Orang Papua asli makin berkurang di atas tanahnya sendiri  (2).

Apa sebabnya? Siapa bertanggung jawab? Apa yang perlu dilakukan supaya orang Papua asli berkembang dan memenuhi negerinya, tanah Papua?
Saat ini, orang Papua asli makin berkurang. Bukan hanya berkurang dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas hidup yang sangat memprihatinkan. Jim Elmslie dalam bukunya “West Papuan Demographic Transition and The 2010 Indonesia Census” menyebutkan bahwa saat ini orang Papua asli di Papua dan Papua Barat berjumlah 3.612.854 jiwa. Dia membandingkan tahun 1971 orang Papua asli berjumlah 887.000 jiwa. Pada tahun 2000, orang Papua asli berjumlah 1.505.405 jiwa. Berdasarkan data ini, dia menyimpulkan bahwa pertumbuhan orang Papua asli hanya 1,84% per tahun.

Data di atas dianalisis dan diterbitkan tahun 2010 silam. Sekarang sudah tahun 2017. Berapa jumlah orang Papua asli? Belum ada data pasti. Kita semua belum memiliki data valid tentang jumlah orang Papua asli. Bahkan data yang dikemukakan oleh Jim patut diuji kembali. Jangan sampai justru orang Papua lebih sedikit dari yang dipaparkan dalam data tersebut. Kita perlu mengumpulkan, mencermati, dan menganalisis berbagai peristiwa terkait depopulasi orang Papua asli. Hal ini sangat penting, jangan sampai kelak, orang Papua punah di atas tanahnya.

Atas nama keamanan Negara Indonesia, banyak orang Papua yang mati terbunuh. Kita tidak bisa menyangkal bahwa aparat keamanan Indonesia membunuh orang Papua. Contoh paling sederhana adalah peristiwa pembunuhan empat pelajar di Paniai, 8 Desember 2014 silam. Masih terlalu banyak kasus serupa. Kekerasan dan pembunuhan terhadap orang Papua asli atas nama negara Indonesia menjadi salah satu sebab orang Papua asli tidak berkembang.

 Di tengah berbagai permasalahan tersebut, tanah Papua juga dibanjiri oleh orang pendatang. Sejak tahun 1960-an pemerintah Indonesia sudah mengklaim Papua sebagai miliknya sehingga mengirim penduduk luar ke tanah Papua. Pada rezim Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, program transmigrasi dilakukan secara masif. Pada era Reformasi ini, seiring kemajuan transportasi dan komunikasi, orang luar berbondong-bondong ke Papua. Setiap hari pelabuhan laut dan bandara udara penuh sesak oleh masuk-keluarnya orang pendatang. (3)

Menyimak realitas orang Papua asli yang makin sedikit ini, kita bertanya, “Siapa bertanggung jawab atas situasi ini?” Apakah pemerintah Provinsi Papua yang harus bertanggung jawab? Apakah Dewan Adat Papua yang harus bertanggung jawab? Atau siapa yang harus bertanggung jawab? Masalah depopulasi orang Papua asli harus menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah Provinsi Papua, pemerintah kabupaten/kota, tokoh-tokoh adat, agama, pemuda dan segenap orang Papua asli dan semua warga masyarakat yang tinggal di tanah Papua. Semua komponen perlu duduk bersama dan membicarakan secara serius terkait pertumbuhan dan perkembangan orang Papua asli.

Kalau semua komponen sudah berjumpa dan berbicara, apa yang perlu dilakukan sebagai gerakan bersama untuk menyelamatkan orang Papua asli dari kepunahan.

Kita berharap melalui proses internalisasi dan rekonsiliasi internal orang Papua asli, dapat dimulai suatu gerakan bersama untuk menyelamatkan orang Papua asli dari kepunahan. Masa depan Papua tetap ada di tangan orang Papua asli. Tidak ada satu pun manusia dari luar yang bisa mengatur orang Papua asli, selain orang Papua asli harus mengatur dirinya sendiri. Untuk bisa mengatur diri, orang Papua harus kembali ke dalam dirinya sendiri, rumah adat, adat dan budaya, bahasa, tanah, air, udara, hutan dan leluhur. Semua harus bersatu untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua asli sekaligus menyelamatkannya dari kepunahan.

Andreas M. Yeimo, Penulis lepas Tinggal di Yogyakrta

Referensi:
(1).https://www.academia.edu/9997852/Studi_Kasus_Pelanggaran_Hak_Asasi_Manusia_di_Papua
(2). http://tabloidjubi.com/m/artikel-1980-tidak-ada-titik-terang-penyelesaian-pelanggaran-ham-papua-di-dalam-negeri.html

(3). http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/orang-papua-asli-makin-sedikit-siapa-peduli_56eb611aba9373ff0a24f57e

ORANG MEE 1950-AN MEMILIKI KARAKTER EKONOMI MODERN

Foto Ist: Mama mama Papua sedang berjualan di trotoar jalanan.



Semakin susah kita bertemu Orang Papua di Tanah Papua. Orang Papua lebih dominan gunakan sejumlah barang milik penjajah, tetapi seakan itu milik Orang Papua. Dengan gampang orang Papua bercerita di kedai kemewahan bagaimana menjual tanah. Menyepakati tanaman, pohon Sagu diganti pohon sawit, Manggrove di ganti beton, rumah gabah diganti rumah kumuh yang beratap seng.


Himpitan kehidupan Orang Papua tidak lagi ditemui di jantung2 kota, seperti kisah di tanah Suku Mauri di Selandia Baru, tanah mereka dikuasai kulit putih dengan bangunan mewah. Tapi ada baiknya suku Mauri melalui dewan adatnya mengatur agar kepemilikan tanah tidak beralih tapi tetap milik Suku Mauri dan bangunan di kontrakan dalam batasan waktu yang disepakati.


Pengalaman Mauri mesti orang Papua yang ada, hidup di kota2 mulai bercermin karena kita sedang hidup dengan negara yang tak berpihak pada nilai2 kemanusian. Orang hilang ditengah kekayaanya, ada dunia dimana Orang Papua tidak lagi memiliki tanah di daerah perkotaan, tempat siklus ekonomi berputar dengan cepat pada lingkaran tertentu (elite milik Gubernur, Bupati dan SKPD).


Dalam buku Road Map, Peneliti LIPI, Muridan dkk bilang kalau Orang Papua sedang di marginalkan oleh negara dalam aspek Ekonomi, dan belum aspek lainya. Hasil penelitiann ini amat penting untuk menemukan sebuah konsep ekonomi Orang Papua di masa depan.


Kalau menemukan Orang Papua yang susah, terpinggir, luar gedung, dll mmg banyak. Hampir sebagisn besar jualan tak selalu gunaksn banginan, orang papua menjual di pinggiran jalan seperti jual pinang pagi dan sore, jual koran pagi hari, jual ikan segar pagi dan sore, setiap saat jual tanah. Hampir aktivitas orang papua berputar di rana pola ekonomi subsisten, menjual karena ada kebutuhan yang mendesak. Bukan menjual untuk mencari kekayaan, kemegahan, dan sifat rakus ternyata belum terlihat.


Pola ekonomi subsisten ini kemudian mendorong OAP membutuh sebuah pola-pola pengembangan ekonomi kebutuhan rumah tangga. Dan kebutuhan pemerintah berlalu bertajuk dari sebuah paradigma global, universal, kelompok. Ini pendekataan yang biasanya dapat memiskinkan kehidupan Orang Papua. Kembali bertajuk pola ekonomi subsitens ini dimaksukan untuk orang menjual at beraktivitas dengan memiliki nilai2 budaya.


BELAJAR DARI WAJAH PAPUA

Orang Papua yang menjual tanah tentu akan diseret dalam hidup yang beratakan, terpinggir, dan lain. Seretan tersebut sudah dikisahkan, Jika kisah ini nyata maka kepemilikan kasus ini adalah milik suku atau marga tertentu yang cenderung menjual tanah, bukan milik kasus universal, papua secara utuh. Kematiaan yang akan terjadi dalam penjual tanah bukan sajah tubuh, wajah papuanya tetapi kematiaan nilai2 budaya ikut dimatikan.

Suku-suku  yang jual tanah cenderung memiliki mental yang lemah, dimana belum memiliki budaya pertahanan diri untuk menghadapi perubahan zaman. Mereka jadi korban dari ekonomi global, dan pola pertahanan tanah dalam suku yang memiliki karakteristik budaya yang keras cenderung mengembangkan diri dalam perubahan secara cepat mengalami kemajuaan. Bagi suku-suku ini tanah bukan sesuatu yang mesti jadi obralan dalam bentuk uang. Tetapi filosofi suku yang memiliki budaya, tanah dipandang sebagai manusia. Hanya untuk mempertahankan atau memperluas tanah selalu jadi konflik, perang suku, ekspĂ nsi, dll.

Dari cara pandang tentang tanah dari beberapa suku di Tanah Papua, ada suku-suku  yang sukanya jual tanahnya dan ada yang pertahankan tanah sebagai martabatnya. Hal ini berpengaruh pada pola perkembangan ekonominya. Objek utama suku yang pertahankan tanah sebagai martabatnya selalu hidupkan ekonomi keluarga, prestise,status sosial, melalui tanah, pengelolaan disertai dengan hewan-hewan  sakral seperti babi dan tanah-tanah  hal tidak bisa di pisahkan.

Kenapa musti berkebun ?. Dengan berkebun orang akan sehat secara jasmani, memiliki pola untuk menanam, menuai, dan merayakan hasil tanamana. Pospisil melalui penelitiaan di daerah Lembah Kamuu, Moanemani ia mengingatkan:
"suku mee memiliki pola perekonmiaan modern melalui sebuah moment, siklus ekonomi yang ditimbul melalui corak-corak  budaya. Orang Mee sekalipun hidupnya masih tradisional 1950-an mereka telah memiliki budaya ekonomi modern".

Saya semakin terpinak bahwa ini sebuah pernyataan menarik untuk dikembangkan lebih mendalam. Orang Mee mengembangakan kebutuhan pasar selalu cenderung tidak melihat kebutuhan pasar tetapi mereka mengembangkan pola ekonomi yang berkarakteristik, apa yang menjadi potensi daerahnya kemudian dikembangkan di daerah lain. Tempat dimana dia berdagang selalu sesuai dengan potensi ekologis. Kalau ekologi tidak mendukung cenderung orang mee tidak berdagang, tidak mengembangkan pola2 ekonominya.

Kata Marginalisasi dikemukaan oleh Lipi bagi orang Mee selalu didentikan dengan kata MALAS. ketika orang tidak sadar tetangg siapa saudranya, lahaan ekonomi, cenderung sifat malas tahu dengan kedaan jadi modal untuk menjadi marginal. Orang MEE selalu identikan Kata malas dengan orang tidak memiliki pikiran yang maju, orang seperti ini selalu di cemohkan dan dipinggirkan sampai tidak diberikan kebutuhan tubuhnya.

Kemajuan ekonomi keluarga bagi orang Mee adalah sebuah kerja keras, prestasi, dan status sosialnya.

(*Penulis Lepas Tinggal di West Papua


Lapagoo dan Tradisi Potong Jari

Foto Ist: Mama Lapago yang jarinya di potong


Oleh: Andreas M. Yeimo

Pernah anda menonton film "senandung di atas awan". Dimana ibu Denias meninggal akibat rumah terbakar, sehingga membuat kesedihan yang mendalam kepada denias dan ayahnya, kemudian ayahnya memotong jari sebagai tradisi atas kehilangan anggota keluarga karena meninggal.

Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat  yang berada pada wilayah Lapagoo Papua,  ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga atau  tidak hanya dengan menangis saja.

Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain di wilayah Papua adalah memotong  jari mereka.

Bagi masyarakat  Lapago, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.

Disisi lain pemotong jari biasanya di lakukan ketika, terjadi  musibah  bencana alam sehingga menimbulkan Kelaparan, makanya warga yang menimpah kelaparan tersebut biasanya memotong jari sebagai simbol, bencana kelaparan tersebut.

Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah di wilayah Lapagoo, keluarga memiliki peranan yang sangat penting.

Khususnya Bagi masyarakat Puncak, kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri. Pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan.

Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka,  atau sebagia simbol tradisi dari bencana Alam yang telah menimpah kelaparan tersebut.

Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak.

Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.

Budaya 'potong jari' masih nampak di wilayah adat Lapagoo. Tetapi dengan seiring berkembangnya zaman, dan masuknya Agama dan Pendidikan di wilayah lapagoo. Sekarang jarang ditemui orang yang melakukan pemotong jari di beberapa dekade belakangan ini.

Andreas,  Penulis Lepas tinggal di Yogyakarta
 

MAMA DERITA

MAMA DERITA

PELITA PAPUA